Fadli Zon Keluarkan Klarifikasi Masalah Puisi “Doa yang Diganti” – Wakil Ketua DPR sekaligus juga Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon keluarkan klarifikasi masalah puisi “Doa yang Diganti”. Menurut Fadli, puisi itu bukan untuk menyerang seorang bahkan juga ulama spesifik sampai memunculkan keresahan di dalam penduduk.
Fadli mengaku tidak mau puisinya membuat perpecahan pada satu kelompok.
“Puisi saya, “Doa yang Diganti”, sampai ini hari selalu digoreng oleh beberapa pihak tidak bertanggungjawab untuk sebarkan fitnah serta merekayasa info. Saya difitnah menjadi sudah menyerang K.H. Maimoen Zubair (Mbah Moen) lewat puisi itu. Dakwaan itu begitu tidak logis, mengingat saya begitu menghargai K.H. Maimoen Zubair serta keluarganya,” catat Fadli Zon lewat account Twitter @fadlizon yang dia catat pada Minggu (17/2).
Selain itu, menurut Fadli puisi yang ia bikin bukan untuk memunculkan fitnah mengingat dia begitu menghargai K.H. Maimoen Zubair.
“Untuk hindari supaya fitnah itu tidak dipandang seperti fakta, saya terasa butuh untuk mengemukakan klarifikasi tercatat,” kata Fadli.
Tersebut klarifikasi komplet Fadli Zon masalah puisi ‘Doa yang Ditukar’:
Puisi saya, “Doa yang Diganti”, sampai ini hari selalu digoreng oleh beberapa pihak tidak bertanggungjawab untuk sebarkan fitnah serta merekayasa info. Saya difitnah menjadi sudah menyerang K.H. Maimoen Zubair lewat puisi itu. Dakwaan itu begitu tidak logis, mengingat saya begitu menghargai K.H. Maimoen Zubair serta keluarganya.
Untuk hindari supaya fitnah itu tidak dipandang seperti fakta, saya terasa butuh untuk mengemukakan klarifikasi tercatat seperti berikut:
1. Saya begitu menghargai K.H. Maimoen Zubair, baik menjadi ulama, ataupun menjadi pribadi yang santun serta ramah. Seringkali saya berjumpa dengan beliau. Beberapa salah satunya kebetulan bahkan juga berjumpa di tanah suci Mekah, di pesantren Syekh Ahmad bin Muhammad Alawy Al Maliki, di Rusaifah.
2. Di dalam pemisahan dikotomis karena keadaan perpolitikan di tanah air, saya tetap berpandangan supaya penilaian kita pada beberapa ulama semestinya tidak di pengaruhi oleh penilaian atas preferensi politik mereka. Hormati beberapa ulama sama seperti dalam kita menghargai beberapa guru atau orangtua kita.
3. Oleh sebab saya begitu menghargai K.H. Maimoen Zubair, saya tidak ikhlas lihat beliau diperlakukan tidak patut cuma untuk memuluskan ambisi politik seorang atau beberapa orang. Berikut yang sudah menggerakkan saya menulis puisi itu. Saya tidak ikhlas ada ulama kita dibegal serta dipermalukan seperti itu.
4. Dengan bahasa, puisi yang saya catat tidak susah. Bahasanya menyengaja dibikin simpel supaya dimengerti luas. Cuma ada tiga kata ubah dalam puisi itu, yakni “kau”, “kami” serta “-Mu”. Tidak butuh miliki ketrampilan bahasa yang tinggi untuk tahu siapa “kau”, “kami” serta “-Mu” disana. Ditambah lagi, dalam bait ke-3, saya memberi atribut yang pasti tentang siapa “kau” yang disebut oleh puisi itu.
5. Pemelintiran seakan kata ubah “kau” dalam puisi itu diperuntukkan pada K.H. Maimoen Zubair jelas dibuat-buat serta adalah bentuk fitnah. Dakwaan itu tidak cuma sudah membuat saya tidak nyaman, tetapi pun mungkin sudah membuat tidak nyaman keluarga K.H. Maimoen Zubair. Kami diminta seakan sama-sama bertemu, walau sebenarnya diantara kami tidak ada permasalahan serta ganjalan apa-apa.
6. Keluarga K.H. Maimoen Zubair, lewat puteranya, K.H. Muhammad Najih Maimoen, sudah memberi keterangan jika beliau terima klarifikasi saya jika kata ubah “kau” memang tidak diperuntukkan pada K.H. Maimoen Zubair. Tiada klarifikasi dari sayapun, beliau sendiri berpandangan bila kata ubah “kau” memang diperuntukkan pada orang yang lain, bukan Mbah Moen. Beliau pun menuturkan bila tindakan massa yang sudah menggoreng rumor ini bukan datang dari kelompok santrinya, tetapi digoreng oleh pihak luar.
7. Satu kali lagi saya berikan jika puisi itu benar-benar belum pernah diperuntukkan pada K.H. Maimoen Zubair. Keterangan ini semenjak awal pun sudah saya berikan pada Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin waktu dia tabayun lewat account alat sosialnya. Telah saya jawab dengan tegas dalam tabayun jika kata ubah “kau” pada puisi itu ialah “penguasa”, bukan K.H. Maimoen Zubair.
8. Guru-guru saya banyak datang dari ulama serta kyai NU, termasuk juga almarhum K.H. Yusuf Hasyim, putra Hadratus Syekh K.H. Hasyim Asy’ari. Saya pun berteman karib dengan K.H. Irfan Yusuf serta keluarganya, yang disebut cucu Hadratus Syekh K.H. Hasyim Asy’ari. Begitupun perihal dengan putera pendiri NU yang lainnya. K.H. Hasib Wahab Abdullah, yang disebut putera K.H. Wahab Hasbullah, ialah teman dekat saya semenjak beberapa puluh tahun yang lalu. Saya bahkan juga sempat jadi Dewan Penasihat Pencak Silat NU Pagar Nusa. Itu penyebabnya saya sangat menghargai NU.
9. Itu penyebabnya saya belum pernah mendudukan beberapa ulama serta kyai berdasar pada preferensi politiknya. Politik gampang sekali beralih, sesaat penghormatan kita pada beberapa orang alim semestinya tetap ajeg.
10. Dalam tempo dekat Insya Allah saya kemungkinan bersilaturahim ke K.H. Maimoen Zubair. Walau puisi saya-sekali lagi-tidak sempat diperuntukkan untuk beliau, menjadi salah satunya aktor politik saya ingin mohon maaf sebab kontestasi politik yang berlangsung sekarang ini mungkin sudah membuat beliau serta keluarga jadi tidak nyaman karena gorengan beberapa orang yang tidak bertanggungjawab.